19 Desember 2013 film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck secara serentak diputar di seluruh bioskop Indonesia.Film yang digarap oleh sutradara kondang Sunil Soraya ini membludak oleh pengunjung bioskop. Di Bioskop Malang Town Square 21 Cineplex , ratusan warga berbondong-bondong antri mendapatkan tiket film yang dibintangi Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian ini.
Film yang berdurasi 2 jam 45 menit ini menimbulkan beberapa kejanggalan dan opini negatif dari sebagian penonton yang merupakan perantau minangkabau. Terutama menyangkut adat yang berlaku di Minangkabau.
Erwin sebagai pengunjung Bioskop Matos 21 Cineplex berpendapat bahwa dalam film ini budaya minang seakan dipojokkan ke arah yang negatif. Dalam film diceritakan Ninik mamak Minangkabau melarang pernikahan antara Zainudin dan Hayati dikarenakan salah satu dari mereka bukan asli keturunan minang serta faktor sosial lain. Adanya perbedaan ini memaksa mereka membatalkan niat untuk menikah.
Selaras dengan Erwin, Dhia yang juga telah menikmati film berdurasi terpanjang di Indonesia ini mengutarakan apresiasinya terhadap film dari segi kisah cintanya. Namun dari segi budaya, masih kurang. ”Filmnya salah fokus. Sesuai novel mestinya membahas Zainudin yang tak bersuku dijelaskan dari segi keturunan ayah atau ibunya, sesuai adat yang selama ini dijelaskan diminangkabau bahwa keturunan berasal dari keturunan ibu. tetapi dalam film malah fokus ke penghianatan cinta Hayati,” tambahnya.
Kejanggalan lain juga dirasakan Anna setelah menonton film ini. Ia menilai beberapa momen sedih di film malah diselipkan humor yang mengubah airmata penonton menjadi tertawa terbahak-bahak. Ia juga kurang suka dengan penyajian film yang kurang ‘menjual’ budaya Minangkabau.
Film Tenggelamnya Kapal van der Wijck ini diangkat dari novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka. (AZ/RW)